Indikator :
3.5.1 Menerangkan proses masuk dan perkembangan penjajahan bangsa Eropa ke Indonesia
3.5.2 Menjelaskan tujuan Bangsa Eropa datang ke Indonesia
Kolonisasi Portugis dan Spanyol
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sejarah Nusantara
Zaman Portugis dan Spanyol
Afonso (kadang juga ditulis Alfonso) de
Albuquerque. Karena tokoh inilah, yang membuat kawasan Nusantara
waktu itu dikenal oleh orang Eropa
dan dimulainya Kolonisasi berabad-abad oleh Portugis
bersama bangsa Eropa lain, terutama Inggris
dan Belanda.
Dari Sungai Tagus
yang bermuara ke Samudra Atlantik itulah armada Portugis
mengarungi Samudra Atlantik, mungkin makan waktu sebulan hingga tiga bulan,
melewati Tanjung Harapan Afrika,
menuju Selat Malaka.
Dari sini penjelajahan dilanjutkan ke Kepulauan Maluku untuk mencari
rempah-rempah, komoditas yang setara emas kala itu.
”Pada abad 16 saat
petualangan itu dimulai biasanya para pelaut negeri Katolik itu diberkati oleh
pastor dan raja sebelum berlayar melalui Sungai Tagus,” kata Teresa. Biara St
Jeronimus atau Biara Dos Jeronimos dalam bahasa Portugis itu didirikan oleh
Raja Manuel pada tahun 1502 di tempat saat Vasco da Gama memulai petualangan ke
timur.
Museum Maritim atau
orang Portugis menyebut Museu de Marinha itu didirikan oleh Raja Luis pada 22
Juli 1863 untuk menghormati sejarah maritim Portugis.
Selain patung di taman,
lukisan Afonso de Albuquerque juga menjadi koleksi museum itu. Di bawah lukisan
itu tertulis, ”Gubernur India 1509-1515. Peletak dasar Kerajaan Portugis di
India yang berbasis di Ormuz, Goa, dan Malaka. Pionir kebijakan kekuatan laut
sebagai kekuatan sentral kerajaan”. Berbagai barang perdagangan Portugis juga
dipamerkan di museum itu, bahkan gundukan lada atau merica.
Ada sejumlah motivasi
mengapa Kerajaan Portugis memulai petualangan ke timur. Ahli sejarah dan
arkeologi Islam Uka Tjandrasasmita dalam buku Indonesia-Portugal: Five Hundred
Years of Historical Relationship (Cepesa, 2002), mengutip sejumlah ahli
sejarah, menyebutkan tidak hanya ada satu motivasi Kerajaan Portugis datang ke
Asia. Ekspansi itu mungkin dapat diringkas dalam tiga kata bahasa Portugis,
yakni feitoria, fortaleza, dan igreja. Arti harfiahnya adalah
emas, kejayaan, dan gereja atau perdagangan, dominasi militer, dan penyebaran
agama Katolik.
Menurut Uka,
Albuquerque, Gubernur Portugis Kedua dari Estado da India, Kerajaan Portugis di
Asia, merupakan arsitek utama ekspansi Portugis ke Asia. Dari Goa, ia memimpin
langsung ekspedisi ke Malaka dan tiba di sana awal Juli 1511 membawa 15 kapal
besar dan kecil serta 600 tentara. Ia dan pasukannya mengalahkan Malaka 10
Agustus 1511. Sejak itu Portugis menguasai perdagangan rempah-rempah dari Asia
ke Eropa. Setelah menguasai Malaka, ekspedisi Portugis yang dipimpin Antonio de
Abreu mencapai Maluku, pusat rempah-rempah.
Periode Kejayaan Portugis di Nusantara
Periode 1511-1526,
selama 15 tahun, Nusantara menjadi pelabuhan maritim penting bagi Kerajaan
Portugis, yang secara reguler menjadi rute maritim untuk menuju Pulau Sumatera,
Jawa, Banda, dan Maluku.
Pada tahun 1511 Portugis
mengalahkan Kerajaan Malaka.
Pada tahun 1512 Portugis
menjalin komunikasi dengan Kerajaan Sunda
untuk menandatangani perjanjian dagang, terutama lada. Perjanjian dagang
tersebut kemudian diwujudkan pada tanggal 21 Agustus 1522 dalam bentuk dokumen
kontrak yang dibuat rangkap dua, satu salinan untuk raja Sunda dan satu lagi
untuk raja Portugal. Pada hari yang sama dibangun sebuah prasasti yang disebut Prasasti
Perjanjian Sunda-Portugal di suatu tempat yang saat ini menjadi
sudut Jalan Cengkeh dan Jalan Kali Besar Timur I, Jakarta Barat. Dengan
perjanjian ini maka Portugis dibolehkan membangun gudang atau benteng di Sunda Kelapa.
Pada tahun 1512 juga
Afonso de Albuquerque mengirim Antonio Albreu dan Franscisco Serrao untuk
memimpin armadanya mencari jalan ke tempat asal rempah-rempah di Maluku.
Sepanjang perjalanan, mereka singgah di Madura, Bali, dan Lombok. Dengan
menggunakan nakhoda-nakhoda Jawa, armada itu tiba di Kepulauan Banda, terus
menuju Maluku Utara hingga tiba di Ternate.
Kehadiran Portugis di
perairan dan kepulauan Indonesia itu telah meninggalkan jejak-jejak sejarah
yang sampai hari ini masih dipertahankan oleh komunitas lokal di Nusantara,
khususnya flores, Solor dan Maluku, di Jakarta Kampong Tugu yang terletak di
bagian Utara Jakarta, antara Kali Cakung, pantai Cilincing dan tanah Marunda.
Bangsa Eropa pertama
yang menemukan Maluku adalah Portugis, pada tahun 1512. Pada waktu itu 2 armada
Portugis, masing-masing dibawah pimpinan Anthony d'Abreu dan Fransisco Serau,
mendarat di Kepulauan Banda dan Kepulauan Penyu. Setelah mereka menjalin
persahabatan dengan penduduk dan raja-raja setempat - seperti dengan Kerajaan
Ternate di pulau Ternate, Portugis diberi izin untuk mendirikan benteng di
Pikaoli, begitupula Negeri Hitu lama, dan Mamala di Pulau Ambon.Namun hubungan
dagang rempah-rempah ini tidak berlangsung lama, karena Portugis menerapkan
sistem monopoli sekaligus melakukan penyebaran agama Kristen. Salah seorang
misionaris terkenal adalah Francis Xavier. Tiba di Ambon 14 Pebruari 1546,
kemudian melanjutkan perjalanan ke Ternate, tiba pada tahun 1547, dan tanpa
kenal lelah melakukan kunjungan ke pulau-pulau di Kepulauan Maluku untuk
melakukan penyebaran agama. Persahabatan Portugis dan Ternate berakhir pada
tahun 1570. Peperangan dengan Sultan Babullah selama 5 tahun (1570-1575),
membuat Portugis harus angkat kaki dari Ternate dan terusir ke Tidore dan
Ambon.
Perlawanan rakyat Maluku
terhadap Portugis, dimanfaatkan Belanda untuk menjejakkan kakinya di Maluku.
Pada tahun 1605, Belanda berhasil memaksa Portugis untuk menyerahkan
pertahanannya di Ambon kepada Steven van der Hagen dan di Tidore kepada
Cornelisz Sebastiansz. Demikian pula benteng Inggris di Kambelo, Pulau Seram,
dihancurkan oleh Belanda. Sejak saat itu Belanda berhasil menguasai sebagian
besar wilayah Maluku. Kedudukan Belanda di Maluku semakin kuat dengan
berdirinya VOC pada tahun 1602, dan sejak saat itu Belanda menjadi penguasa
tunggal di Maluku. Di bawah kepemimpinan Jan Pieterszoon Coen, Kepala
Operasional VOC, perdagangan cengkih di Maluku sepunuh di bawah kendali VOC
selama hampir 350 tahun. Untuk keperluan ini VOC tidak segan-segan mengusir
pesaingnya; Portugis, Spanyol, dan Inggris. Bahkan puluhan ribu orang Maluku
menjadi korban kebrutalan VOC.
kemudian mereka
membangun benteng di Ternate tahun 1511, kemudian tahun 1512 membangun Benteng
di Amurang Sulawesi Utara. Portugis kalah perang dengan Spanyol maka daerah
Sulawesi utara diserahkan dalam kekuasaan Spanyol (1560 hingga 1660). Kerajaan
Portugis kemudian dipersatukan dengan Kerajaan Spanyol. (Baca
buku :Sejarah Kolonial Portugis di Indonesia, oleh David DS Lumoindong).
Abad 17 datang armada dagang VOC (Belanda) yang kemudian berhasil mengusir
Portugis dari Ternate, sehingga kemudian Portugis mundur dan menguasai Timor
timur (sejak 1515).
Kolonialisme dan
Imperialisme mulai merebak di Indonesia sekitar abad ke-15, yaitu diawali
dengan pendaratan bangsa Portugis di Malaka dan bangsa Belanda yang dipimpin
Cornellis de Houtman pada tahun 1596, untuk mencari sumber rempah-rempah dan
berdagang.
Tahun 1521 Spanyol Mulai Masuk perairan Indonesia
Awak kapal Trinidad yang
ditangkap oleh Portugal dan dipenjarakan kemudian dengan bantuan pelaut
Minahasa dan Babontewu dari kerajaan Manado mereka dapat meloloskan diri. Ke 12
pelaut ini kemudian berdiam dipedalaman Minahasa, ke Amurang terus ke Pontak,
kemudian setelah beberapa tahun mereka dapat melakukan kontak kembali dengan
armada Spanyol yang telah kembali ke Pilipina. 1522 Spanyol memulai kolonisasi
di Sulawesi Utara 1560 Spanyol mendirikan pos di Manado
Minahasa memegang
peranan sebagai lumbung beras bagi Spanyol ketika melakukan usaha penguasaan
total terhadap Filipina.
Pada tahun 1550 Spanyol
telah mendirikan benteng di Wenang dengan cara menipu Kepala Walak Lolong Lasut
menggunakan kulit sapi dari Benggala India yang dibawa Portugis ke Minahasa.
Tanah seluas kulit sapi yang dimaksud spanyol adalah tanah seluas tali yang
dibuat dari kulit sapi itu. Spanyol kemudian menggunakan orang Mongodouw untuk
menduduki benteng Portugis di Amurang pada tahun 1550-an sehingga akhirnya
Spanyol dapat menduduki Minahasa. Dan Dotu Kepala Walak (Kepala Negara) Lolong
Lasut punya anak buah Tonaas Wuri' Muda.
Nama Kema dikaitkan
dengan pembangunan pangkalan militer Spanyol ketika
Bartholomeo de Soisa
mendarat pada 1651 dan mendirikan pelabuhan di daerah yang disebutnya ‘La
Quimas.’ Penduduk setempat mengenal daerah ini dengan nama ‘Maadon’ atau juga
‘Kawuudan.’ Letak benteng Spanyol berada di muara sungai Kema, yang disebut
oleh Belanda, "Spanyaardsgat, " atau Liang Spanyol.
Dr. J.G.F. Riedel
menyebutkan bahwa armada Spanyol sudah mendarat di Kema tepat 100 tahun
sebelumnya.Kema berkembang sebagai ibu negeri Pakasaan Tonsea sejak era
pemerintahan Xaverius Dotulong, setelah taranak-taranak Tonsea mulai meninggalkan
negeri tua, yakni Tonsea Ure dan mendirikan perkampungan- perkampungan baru.
Surat Xaverius Dotulong pada 3 Februrari 1770 kepada Gubernur VOC di Ternate
mengungkapkan bahwa ayahnya, I. Runtukahu Lumanauw tinggal di Kema dan merintis
pembangunan kota ini. Hal ini diperkuat oleh para Ukung di Manado yang
mengklaim sebagai turunan dotu Bogi, putera sulung dari beberapa dotu
bersaudara seperti juga dikemukakan Gubernur Ternate dalam surat balasannya
kepada Xaverius Dotulong pada 1 November 1772.
Asal nama Kema
Misionaris Belanda,
Domine Jacobus Montanus dalam surat laporan perjalanannya pada 17 November
1675, menyebutkan bahwa nama Kema, yang mengacu pada istilah Spanyol, adalah
nama pegunungan yang membentang dari Utara ke Selatan. Ia menulis bahwa kata
‘Kima’ berasal dari bahasa Minahasa yang artinya Keong. Sedangkan pengertian
‘Kema’ yang berasal dari kata Spanyol, ‘Quema’ yaitu, nyala, atau juga
menyalakan. Pengertian itu dikaitkan dengan perbuatan pelaut Spanyol sering
membuat onar membakar daerah itu. Gubernur Robertus Padtbrugge dalam memori
serah terima pada 31 Agustus 1682 menyebutkan tempat ini dengan sebutan
"Kemas of grote Oesterbergen, " artinya adalah gunung-gunung besar
menyerupai Kerang besar.
Sedangkan dalam kata Tonsea disebut ‘Tonseka,’ karena berada di wilayah
Pakasaan Tonsea.
Hendrik Berton dalam
memori 3 Agustus 1767, melukiskan Kema selain sebagai pelabuhan untuk musim
angin Barat, juga menjadi ibu negeri Tonsea. Hal ini terjadi akibat
pertentangan antara Manado dengan Kema oleh sengketa sarang burung di pulau
Lembeh. Pihak ukung-ukung di Manado menuntut hak sama dalam bagi hasil dengan
ukung-ukung Kema. Waktu itu Ukung Tua Kema adalah Xaverius Dotulong.
Portugis dan Spanyol
merupakan tumpuan kekuatan gereja Katholik Roma memperluas wilayah yang
dilakukan kesultanan Ottoman di Mediterania pada abad ke-XV. Selain itu
Portugis dan Spanyol juga tempat pengungsian pengusaha dan tenaga-tenaga
terampil asal Konstantinopel ketika dikuasai kesultanan Ottoman dari Turki pada
1453. Pemukiman tersebut menyertakan alih pengetahuan ekonomi dan maritim di
Eropa Selatan. Sejak itupun Portugis dan Spanyol menjadi adikuasa di Eropa.
Alih pengetahuan diperoleh dari pendatang asal Konstantinopel yang memungkinkan
bagi kedua negeri Hispanik itu melakukan perluasan wilayah-wilayah baru diluar
daratan Eropa dan Mediterania. Sasaran utama adalah Asia-Timur dan
Asia-Tenggara. Mulanya perluasan wilayah antara kedua negeri terbagi dalam
perjanjian Tordisalles, tahun 1492. Portugis kearah Timur sedangkan Spanyol ke
Barat. Masa itu belum ada gambaran bahwa bumi itu bulat. Baru disadari ketika
kapal-kapal layar kedua belah pihak bertemu di perairan Laut Sulawesi.
Kenyataan ini juga menjadi penyebab terjadi proses reformasi gereja, karena
tidak semua yang menjadi "fatwa" gereja adalah Undang-Undang, hingga
citra kekuasaan Paus sebagai penguasa dan wakil Tuhan di bumi dan sistem
pemerintahan absolut theokratis ambruk. Keruntuhan ini terjadi dengan munculnya
gereja Protestan rintisan Martin Luther dan Calvin di Eropa yang kemudian
menyebar pula ke berbagai koloni Eropa di Asia, Afrika dan Amerika.
Dari kesepakatan
Tordisalles itu, Portugis menelusuri dari pesisir pantai Afrika dan samudera
Hindia. Sedangkan Spanyol menelusuri Samudera Atlantik, benua Amerika Selatan
dan melayari samudera Pasifik. Pertemuan terjadi ketika kapal-kapal Spanyol
pimpinan Ferdinand Maggelan menelusuri Pasifik dan tiba di pulau Kawio, gugusan
kepulauan Sangir dan Talaud di Laut Sulawesi pada 1521. Untuk mencegah
persaingan di perairan Laut Sulawesi dan Maluku Utara, kedua belah pihak
memperbarui jalur lintas melalui perjanjian Saragosa pada tahun 1529.
Perjanjian tersebut membagi wilayah dengan melakukan batas garis tujuhbelas
derajat lintang timur di perairan Maluku Utara. Namun dalam perjanjian tersebut,
Spanyol merasa dirugikan
karena tidak meraih lintas niaga dengan gugusan kepulauan penghasil
rempah-rempah. Untuk itu mengirimkan ekspedisi menuju Pasifik Barat pada 1542.
Pada bulan Februari tahun itu lima kapal Spanyol dengan 370 awak kapal pimpinan
Ruy Lopez de Villalobos menuju gugusan Pasifik Barat dari Mexico . Tujuannya
untuk melakukan perluasan wilayah dan sekaligus memperoleh konsesi perdagangan
rempah-rempah di Maluku Utara.
Dari pelayaran ini
Villalobos mendarat digugusan kepulauan Utara disebut Filipina, di ambil dari
nama putera Raja Carlos V, yakni Pangeran Philip, ahli waris kerajaan Spanyol.
Sekalipun Filipina tidak menghasilkan rempah-rempah, tetapi kedatangan Spanyol
digugusan kepulauan tersebut menimbulkan protes keras dari Portugis. Alasannya
karena gugusan kepulauan itu berada di bagian Barat, di lingkungan wilayahnya.
Walau mengkonsentrasikan perhatiannya di Amerika-Tengah, Spanyol tetap
menghendaki konsesi niaga rempah-rempah Maluku-Utara yang juga ingin didominasi
Portugis. Tetapi Spanyol terdesak oleh Portugis hingga harus mundur ke
Filipina. Akibatnya Spanyol kehilangan pengaruh di Sulawesi Utara yang
sebelumnya menjadi kantong ekonomi dan menjalin hubungan dengan masyarakat
Minahasa.
Pengenalan kuliner asal
Spanyol di Minahasa
Peperangan di Filipina
Selatan turut memengaruhi perekonomian Spanyol. Penyebab utama kekalahan
Spanyol juga akibat aksi pemberontakan pendayung yang melayani kapal-kapal
Spanyol. Sistem perkapalan Spanyol bertumpu pada pendayung yang umumnya terdiri
dari budak-budak Spanyol. Biasanya kapal Spanyol dilayani sekitar 500 - 600
pendayung yang umumnya diambil dari penduduk wilayah yang dikuasai Spanyol.
Umumnya pemberontakan para pendayung terjadi bila ransum makanan menipis dan
terlalu dibatasi dalam pelayaran panjang, untuk mengatasinya Spanyol
menyebarkan penanaman palawija termasuk aneka ragam cabai (rica), jahe
(goraka), kunyit dll.
Kesemuanya di tanam pada
setiap wilayah yang dikuasai untuk persediaan logistik makanan awak kapal dan
ratusan pendayung.
Sejak itu budaya makan
"pidis" yang di ramu dengan berbagai bumbu masak yang diperkenalkan
pelaut Spanyol menyebar pesat dan menjadi kegemaran masyarakat Minahasa.
Ada pula yang menarik
dari peninggalan kuliner Spanyol, yakni budaya Panada. Kue ini juga asal dari
penduduk Amerika-Latin yang di bawa oleh Spanyol melalui lintasan Pasifik.
Bedanya, adonan panada, di isi dengan daging sapi ataupun domba, sedangkan
panada khas Minahasa di isi dengan ikan.
Kota Kema merupakan
pemukiman orang Spanyol, dimulai dari kalangan "pendayung" yang
menetap dan tidak ingin kembali ke negeri leluhur mereka. Mereka menikahi
perempuan-perempuan penduduk setempat dan hidup turun-temurun. Kema kemudian
juga dikenal para musafir Jerman, Belanda dan Inggris. Mereka ini pun berbaur dan
berasimilasi dengan penduduk setempat, sehingga di Kema terbentuk masyarakat
pluralistik dan memperkaya Minahasa dengan budaya majemuk dan hidup
berdampingan harmonis. Itulah sebabnya hingga masyarakat Minahasa tidak
canggung dan mudah bergaul menghadapi orang-orang Barat.
Pergerakan Mengusir
Penjajahan lawan Spanyol
Minahasa juga pernah
berperang dengan Spanyol yang dimulai tahun 1617 dan berakhir tahun 1645.
Perang ini dipicu oleh ketidakadilan Spanyol terhadap orang-orang Minahasa,
terutama dalam hal perdagangan beras, sebagai komoditi utama waktu itu. Perang
terbuka terjadi nanti pada tahun 1644-1646. Akhir dari perang itu adalah
kekalahan total Spanyol, sehingga berhasil diusir oleh para waranei
(ksatria-ksatria Minahasa).
Kolonisasi VOC
Mulai tahun 1602
Belanda secara perlahan-lahan menjadi penguasa
wilayah yang kini adalah Indonesia, dengan memanfaatkan perpecahan di antara
kerajaan-kerajaan kecil yang telah menggantikan Majapahit. Satu-satunya yang
tidak terpengaruh adalah Timor Portugis,
yang tetap dikuasai Portugal hingga 1975
ketika berintegrasi menjadi provinsi Indonesia bernama Timor Timur. Belanda menguasai Indonesia selama
hampir 350 tahun, kecuali untuk suatu masa pendek di mana sebagian kecil dari
Indonesia dikuasai Britania setelah Perang Jawa
Britania-Belanda dan masa penjajahan Jepang pada masa Perang Dunia II. Sewaktu menjajah Indonesia,
Belanda mengembangkan Hindia-Belanda
menjadi salah satu kekuasaan kolonial terkaya di dunia. 350 tahun penjajahan
Belanda bagi sebagian orang adalah mitos belaka karena wilayah Aceh baru
ditaklukkan kemudian setelah Belanda mendekati kebangkrutannya.
Pada abad ke-17 dan 18 Hindia-Belanda tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama Perusahaan Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda: Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan aktivitas kolonial di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602. Markasnya berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta.
Tujuan utama VOC adalah
mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Hal ini
dilakukan melalui penggunaan dan ancaman kekerasan terhadap penduduk di
kepulauan-kepulauan penghasil rempah-rempah, dan terhadap orang-orang
non-Belanda yang mencoba berdagang dengan para penduduk tersebut. Contohnya,
ketika penduduk Kepulauan Banda
terus menjual biji pala kepada pedagang Inggris, pasukan
Belanda membunuh atau mendeportasi hampir seluruh populasi dan kemudian
mempopulasikan pulau-pulau tersebut dengan pembantu-pembantu atau budak-budak
yang bekerja di perkebunan pala.
VOC menjadi terlibat
dalam politik internal Jawa pada masa ini, dan bertempur dalam beberapa
peperangan yang melibatkan pemimpin Mataram dan Banten.
Kolonisasi pemerintah Belanda
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Indonesia: Era Belanda
Setelah VOC jatuh
bangkrut pada akhir abad ke-18 dan setelah
kekuasaan Britania yang pendek di bawah Thomas Stamford
Raffles, pemerintah Belanda mengambil alih kepemilikan VOC pada
tahun 1816. Sebuah pemberontakan di Jawa berhasil
ditumpas dalam Perang Diponegoro
pada tahun 1825-1830. Setelah tahun 1830
sistem tanam paksa yang dikenal sebagai cultuurstelsel
dalam bahasa Belanda
mulai diterapkan. Dalam sistem ini, para penduduk dipaksa menanam hasil-hasil
perkebunan yang menjadi permintaan pasar dunia pada saat itu, seperti teh,
kopi
dll. Hasil tanaman itu kemudian diekspor ke mancanegara. Sistem ini membawa
kekayaan yang besar kepada para pelaksananya - baik yang Belanda maupun yang
Indonesia. Sistem tanam paksa ini adalah monopoli pemerintah dan dihapuskan
pada masa yang lebih bebas setelah 1870.
Pada 1901
pihak Belanda mengadopsi apa yang mereka sebut Politik Etis (bahasa Belanda: Ethische
Politiek), yang termasuk investasi yang lebih besar dalam pendidikan bagi
orang-orang pribumi, dan sedikit perubahan politik. Di bawah
gubernur-jendral J.B. van
Heutsz pemerintah Hindia-Belanda memperpanjang kekuasaan kolonial
secara langsung di sepanjang Hindia-Belanda, dan dengan itu mendirikan fondasi
bagi negara Indonesia saat ini.
Sumber: Wikipedia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar